Perbedaan Mitos, Fakta, dan Opini: Kenapa Penting?

Table of Contents

perbedaan mitos fakta opini dan kenapa semuanya penting?

Di zaman digital, informasi datang tanpa henti. Kadang kita berhenti sejenak dan bertanya: “Ini mitos, fakta, atau sekadar opini?” Jawaban atas pertanyaan itu penting sebab bukan hanya soal menambah wawasan, tapi juga menjaga pikiran tetap jernih di tengah banjir hoaks dan disinformasi.

Artikel ini akan mengajak kita menelusuri peran mitos, fakta, dan opini dalam sejarah pemikiran manusia, lengkap dengan contoh-contohnya, serta kenapa kemampuan membedakannya jadi kunci di era sekarang.

Mitos: Cerita Lama, Makna Mendalam

Mitos berasal dari kata Yunani muthos yang berarti “cerita”. Dalam budaya, mitos bukan sekadar dongeng, tapi narasi besar yang menjelaskan asal-usul dunia, manusia, atau fenomena alam yang seringkali melibatkan dewa atau makhluk gaib.

Fungsinya apa? Menjawab pertanyaan besar: dari mana kita berasal, kenapa dunia seperti ini, dan apa artinya hidup.

Beda dengan takhayul: mitos biasanya sarat makna budaya dan moral, sementara takhayul lebih ke kepercayaan praktis sehari-hari soal keberuntungan atau kesialan.

Contoh klasik: mitos Yunani tentang Dewa Zeus yang menguasai langit. Itu bukan sekadar cerita hiburan, tapi cara orang dulu menjelaskan alam sebelum ada sains.

Fakta: Kebenaran yang Bisa Dibuktikan

Kalau mitos bersandar pada keyakinan, fakta berdiri di atas bukti. Fakta adalah sesuatu yang nyata, bisa diobservasi, dan dapat diverifikasi.

  1. Bisa dijawab dengan 5W+1H (apa, siapa, kapan, di mana, kenapa, bagaimana).
  2. Berbasis data: bisa angka, bisa pernyataan yang bisa dicek.
  3. Objektif: tidak tergantung siapa yang mengatakannya.

Contoh: Madu tidak pernah kedaluwarsa. Itu fakta, karena sudah dibuktikan secara ilmiah.

Fakta sendiri berkembang seiring ilmu pengetahuan. Teori lama bisa gugur kalau ada bukti baru—seperti kata Thomas Kuhn soal “pergeseran paradigma” dalam sains.

Opini: Sudut Pandang Pribadi

Opini adalah pendapat. Subjektif sifatnya, karena lahir dari pengalaman, perasaan, atau pengetahuan seseorang.

  1. Bisa berupa opini pribadi, kelompok, publik, atau bahkan politik.
  2. Tidak selalu salah, tapi kebenarannya belum tentu bisa dibuktikan.
  3. Biasanya ditandai kata-kata seperti “mungkin”, “sebaiknya”, “bisa jadi”.

Contoh opini: “Menurut saya, guru dan dosen di Indonesia belum cukup dihargai.”

Itu sah, tapi perlu data untuk menguatkan klaimnya. Sebab tidak sedikit pengajar di sekolah maupun universitas yang memiliki gaji dan tunjangan yang layak.

Mengapa Perlu Membedakan Tiga Hal Ini?

Karena arus informasi sekarang penuh jebakan. Hoaks mudah menyamar jadi fakta. Opini bisa terdengar meyakinkan seolah kebenaran mutlak.

Di sinilah berpikir kritis berperan. Dengan sikap kritis, kita belajar:

  1. Memverifikasi sumber informasi.
  2. Mengenali bias (seperti bias konfirmasi atau terlalu percaya diri).
  3. Menyadari bahwa tidak semua yang viral berarti benar dan dapat dipercaya.

Contoh Sehari-hari

contoh mitos seputar otak, fakta seputar semut, dan opini seputar televisi
Mitos: “Manusia hanya menggunakan 10% potensi otak.” Faktanya, hampir seluruh bagian otak aktif.

Fakta: “Semut tidak punya paru-paru.” Ini benar karena mereka bernapas lewat lubang kecil di tubuh.

Opini: “Televisi akan punah karena kalah sama platform digital.” Pendapat ini masih menjadi perdebatan, perlu dicatat bahwa bisa saja terjadi/tidak di masa depan.

Kesimpulan

Membedakan mitos, fakta, dan opini adalah fondasi literasi digital.

  • Mitos memberi kita warisan budaya dan simbol.
  • Fakta menegakkan kebenaran dengan bukti.
  • Opini mencerminkan cara pandang manusia yang beragam.

Di tengah derasnya hoaks, kemampuan berpikir kritis adalah tameng terbaik. Bukan sekadar tahu mana fakta, tapi juga berani bertanya, skeptis pada klaim, dan terbuka pada data baru.

Singkatnya, semakin cerdas kita memilah informasi, semakin sehat pula cara kita menilai dunia.a